POLA PENGASUHAN ANAK DALAM MASYARAKAT SAMIN
(Studi tentang Perubahan Sosial
Samin Surosentiko)
A. PENDAHULUAN
Salah satu fenomena yang terjadi pada masa
sekarang ini adalah, melemahnya peranan keluarga sebagai akibat dari perubahan
sosial, politik dan budaya yang terjadi.[1]
Keluarga dalam hal ini ayah dan ibu selalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi aktifitas keduniaan menjadi sebuah tujuan,
sehingga dengan berbagai cara mereka mencurahkan seluruh waktu demi memperoleh
harta benda yang berujung pada akhirnya
kekerabatan antar keluarga menjadi renggang, maka akibat dari persoalan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya
anak dari kekuasaan orang tua. Mengingat anak adalah aset yang paling berharga bagi
orang tuanya, maka orang tua seharusnya bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan dasar anak, agar anak berkembang dengan baik, kebutuhan dasar harus
dipenuhi secara berjenjang dari yang paling rendah kepada yang paling tinggi
yaitu kebutuhan fisiologik, rasa aman, rasa kasih sayang, penghargaan diri dan
aktualisasi diri tidak selamanya tepat. Pemenuhan kebutuhan dasar harus berjenjang, karena tiap macam kebutuhan
dasar memberi ragam kontribusi untuk keberhasilan anak mulai dari yang sentral ke perifer. Padahal
anak perlu juga adanya kebutuhan akan agama. Kebutuhan dasar rasa agama yang
tidak diungkap oleh Maslow sebagai kebutuhan dasar, ternyata memiliki kedudukan
penting untuk keberhasilan belajar anak.
Anak selalu mengalami proses perkembangan
menuju kedewasaan. Untuk proses perkembanganya, anak memiliki kebutuhan dasar (basic
needs). Anak akan berkembang dengan baik dan wajar baik jasmani maupun
rohaninya jika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Agar kebutuhan jasmani dan rohani dapat terpenuhi, maka anak-anak
memerlukan bantuan orang dewasa.[2]
Kita semua sepakat bahwa setiap anak apapun latar belakangnya mempunyai potensi, namun di kala lahir
seorang dalam kondisi tidak berdaya maka pada saat seperti ini tentu membutuhkan pertolongan orang dewasa,[3]
hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Suryabrata,[4]
bahwa tanpa pertolongan orang yang lebih dewasa potensi yang dimiliki oleh anak tidak akan mampu berkembang dengan baik.
Dengan demikian maka persepsi orangtua
bahwa pendidikan anaknya cukup diserahkan sepenuhnnya kepada guru di “sekolah”
sudah seharusnya diluruskan.
Kenyataan yang terjadi dewasa ini, adalah
masih banyak orang tua yang sudah merasa “gugur” kewajibanya dalam mendidik
anaknya, ketika sudah memasukkannya ke suatu lembaga pendidikan. Padahal
partisipasi orang tua dalam mendidik anak sangatlah penting, mengingat orangtualah yang
paling dekat dan sering berinteraksi dengan anak karena sebagian besar waktu
anak adalah di rumah. Keluarga, lebih khusus lagi orangtua pada prinsipnya
tetap memegang tanggung jawab terbesar dalam pendidikan anak-anaknya, namun
peran ini seringkali justru dilupakan oleh orang tua. Pemahaman orangtua yang
masih rendah tentang konsep pendidikan pada anak usia dini misalnya,diduga merupakan
salah satu faktor masih minimnya
partisipasi orangtua dalam pendidikan anak di rumah. Perbedaan perlakuan antara
guru di sekolah dan orangtua di rumah dikhawatirkan juga akan menimbulkan
ambiguitas pada anak-anak. Jika hal ini terjadi, maka akan membawa dampak negatife terhadap perkembangan anak. Saat ini
masih banyak orangtua yang mempercayakan
pendidikan anak-anaknya sepenuhnya kepada fihak sekolah. Mereka
beranggapan bahwa dengan menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan khususnya
jenjang pendidikan anak usia dini, maka kebutuhan anaknya terhadap pendidikan
sudah tercukupi.
Disamping orangtua mempunyai tanggung jawab
sebagaimana di sebutkan diatas, maka sebenarnya kedudukan utama dari setiap
keluarga terhadap anak-anaknya adalah sebagai fungsi pengantar pada masyarakat,
disini orang tua sebagai penghubung pribadi
dengan struktur sosial lainya, karena masyarakat tidak akan mungkin
bisa bertahan hidup jika kebutuhannya yang bermacam-macam itu
juga tidak dipenuhi, seperti misalnya
kebutuhan akan makanan, kebutuhan akan perlindungan terhadap yang muda dan yang
lebih tua, kebutuhan orang yang sedang sakit dan yang sedang mengandung, hak
persamaan hukum, dan lain sebagainya. Dalam
hal keluarga yang sering terjadi perselisihan antara ayah dan ibu di sini Mulkhan dalam hal ini juga mengatakan bahwa perubahan
pola hidup keluarga yang semakin terbuka dan mobilitas yang tinggi dengan
risiko penceraian yang terus meningkat, adalah merupakan salah satu faktor yang menimbulkan keterasingan anak-anak dalam
anggota masyarakat lainya.[5]
Tentu sebagai pendidik awal sebuah keluarga sangat menjunjung tinggi
keharmonisan dan kekerabatan yang bisa membuat aman dan nyaman bagi anak tanpa ada goncangan psikologis bagi
anak-anaknya, utamanya seorang ibu dalam rumah tangga.
Berbicara mengenai anak disini ada batasan
usia Anak, dalam hal ini menurut definisi Konvensi Hak Anak PBB adalah “..
Setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun,namun tetap memberi ruang bagi
masing-masing negara untuk menentukan, selama batasan tersebut selaras dan
sesuai dengan hak anak ini.[6] Anak yang berusia kurang dari 18 tahun di
anggap masih dalam proses menuju dewasa sehingga perlu mendapatkan bantuan dari
orang yang lebih dewasa. Maka dalam usia dibawah 18 tahun seorang anak
hendaknya selalu dibimbing agar mengetahui etika sosial yang baik agar kelak
menjadi anak yang berhasil, dalam hal tujuan di atas tentu harus melibatkan peran orang tua sebagai
penanggung jawab keluarga dalam hal ini adalah ayah dan ibu. Karena seorang
ayah dan ibu sebagai pembentuk dan pewaris pranata sosial di lingkungan keluarganya.
Peranan orang tua sebagai penanggung jawab keluarga adalah sangat dominan dan
sangat menentukan dalam mempertahankan
kelangsungan hidup anak, sekaligus
kelangsungan hidup dalam bermasyarakat dalam suatu lingkungan masyarakat
tersebut, terutama dalam melanjutkan keturunan, afeksi, dan sosialisasi.
Sehingga untuk mewujudkan manusia sempurna dan paripurna dengan tingkat
intensitas yang tinggi pada seluruh komponen yang melekat pada dirinya, Maka
sejak dini ( anak-anak) setiap individu harus mendapatkan bimbingan dan
pembinaan yang benar, dan terarah serta pengasuhan yang tepat. Pendidikan dalam keluarga adalah merupakan
pendidikan tahab awal bagi setiap individu, karena tanpa adanya keluarga tidak
mungkin masyarakat itu ada, karena warga masyarakat pada hakekatnya merupakan
kumpulan dari anggota-anggota keluarga.
Pendidikan tidak berjalan secara tiba-tiba,
Mansur mengatakan bahwa , peran orang tua khususnya seorang ibu dalam
mendidik anak-anaknya hendaknya dilakukan secara periodik, yaitu dimulai sejak masa prenatal
atau masa kehamilan sampai dengan masa kelahiran anaknya, walaupun masih dibilang
bersifat tidak langsung (inderecteducation), dimana pendidikan itu
diberikan sejak anak dalam kandungan
sampai kemudian lahir dan bahkan sampai dewasa, dalam arti mencapai kemandirian
dalam menempuh hidup. Periodisasi itu
adalah sebagai berikut : (1) Periode Nutfah, masa ini berlangsung kurang
lebih 40 hari dari kehamilan, Hal senada juga di katakan oleh Elizabeth sebagaimana di kutip oleh Samsul
Munir dalam bukunya yang berjudul Menyiapkan
Masa Depan Anak Islami, sebagai berikut : 40 hari itu terbagi lagi menjadi dua
periode , yaitu periode ovum terjadi kurang lebih selama dua minggu, dan
periode awal embrio kurang lebih terjadi selama 25 hari semenjak proses
vertilisasi.[7] (2)
Periode “Alaqah, adalah masa setelah masa nutfah yaitu selama 40
hari, dalam periode ini akan berubah
menjadi segumpal darah yang disebut ‘Alaqah,[8]
masa ini terjadi selama kurang lebih 40
hari setelah proses vertilisasi. (3) periode Mudgah, setelah segumpal
darah akan membentuk segumpal daging yang di sebut Vetus, masa ini sudah nampak jelas mulai berbentuk atau mirip dengan manusia,
kepala lebih besar, wajah atau muka seperti menyerupai bayi, bulu mata, dan
kuku mulai berbentuk dan jenis kelamin
dapat dibedakan secara mudah apakah kelak ketika lahir akan menjadi calon
bayi laki-laki apakah perempuan, masa
ini kurang lebih 40 hari dan berlanjut hingga mencapai usia 16 minggu.[9] Akhirnya lahirlah seorang bayi itu dengan
bentuk yang sempurna.
Aspek penting bagi janin sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa sejak dalam kandungan, aspek yang sangat mewarnai
anak yaitu aspek agama. Karena
sebenarnya naluri agama pada setiap individu ini sudah mencakup sedemikian
jauh, bahkan sejak sebelum kelahiran di dunia nyata. Pada saat itu pada dasarnya manusia memiliki potensi
kesiapan untuk mengenal dan mengakui keberadaan Tuhan. oleh karena itu, proses
pendidikan sudah dimulai semenjak anak dalam kandungan (prenatal education),
yaitu masa perkembangan anak sebelum lahir dan masih berada dalam kandungan
seorang ibu. Islam telah menaruh perhatian yang cukup serius terhadap arti
penting dan tingginya nilai kasih sayang oleh seorang ibu terhadap bayinya, Perlu
kiranya kita mengambil sebuah contoh sosok seorang ibu yang berhasil mengasuh
sang putra bernama Ismail, disini Hajar berhasil mendidik anaknya dengan
potensi yang melekat bagi diri seorang ibu sehingga seorang ibu bisa membentuk
kepribadian yang unggul, bayi yang tumbuh dari kasih sayang sejati yang
ditanamkan oleh Allah di hati para orang tua
utamanya seorang ibu akan menjilma menjadi sebuah bangunan rumah tangga
yang sejahtera sehingga mampu melanggengkan “nurani kemanusiaan”.[10]
Pemenuhan hak kesejahteraan bagi seorang
anak bukan saja merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat pada
umumnya, namun juga merupakan salah satu bidang kajian pekerjaan sosial
tersendiri seperti yang tercantum dalam Encyclopedia of Social Work.[11]
akan tetapi orang tualah yang sebenarnya memiliki otoritas penuh terhadap
pemenuhan hak tersebut. Orang tua disini
adalah yang pertama-tama
bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara
jasmani, rohani, maupun sosial.[12]
Peran aktif orang tua terhadap perkembangan
anak-anaknya sangat diperlukan terutama pada saat mereka masih berada dibawah
usia lima tahun (balita).[13]
Misalnya seorang bayi yang baru lahir, dalam kondisi ini sangat tergantung dari
lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga dalam hal ini adalah ayah dan ibu
sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Masih terkait dengan
perkembangan anak, Ahmad Zaki Saleh membagi fase perkembangan anak menjadi tujuh fase yaitu, pertama fase
sebelum lahir (prenatal), kedua masa bayi (0-2 tahun), ketiga
masa kanak-kanak (3-5 tahun), keempat pertengahan masa kanak-kanak (6-8
tahun), kelima akhir masa kanak-kanak (8-12 tahun) keenam masa
anak yang hampir baligh (al-murahakah/remaja),ketujuh masa dewasa.[14]
Hurlock, menyatakan bahwa masa usia 2 sampai 5
tahun merupakan masa perkembangan yang sangat pesat, baik secara fisik maupun
mental[15].
Ahli perkembangan anak lainya, seperti Doman
misalnya juga menyatakan bahwa perkembangan yang paling pesat terhadap
pertumbuhan otak manusia terjadi pada usia 0 sampai 7 tahun. Dikatakan pula
bahwa perkembangan otak pada usia dini bisa dicapai secara maksimal apabila
diberikan rangsangan yang tepat terhadap semua unsur-unsur perkembangan, baik
rangsangan terhadap perkembangan motorik, rangsangan terhadap perkembangan
intelektual, rangsangan terhadap sosial-emosional dan juga rangsangan untuk
berbicara (language development).[16]
Hal ini ditegaskan oleh Routh, dengan mengistilahkan perkembangan pada usia ini
sebagai developmental milestone” atau perkembangan tonggak sejarah,
karena “hanya” dalam waktu 4 tahun ( 2-6 tahun) adalah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat
pesat bagi anak baik secara fisik,
kognitif maupun bahasa[17].
Dengan demikian maka menjadi semakin jelas bahwa pada usia 0-6 tahun merupakan
usia yang sangat kritis sebagai dasar perkembangan selanjutnya, sehingga perlu
dilakukan penanganan yang sesuai. Seperti yang diungkapkan oleh Milton,
Hurlock, dengan cara yang lebih puitis, bahwa “masa kanak-kanak meramalkan masa
dewasa, sebagaimana pagi hari meramalkan hari baru.”
Di dalam kandungan misalnya, seorang
anak sebenarnya sudah terjadi proses
pertumbuhan yang penting, yakni dalam rahim ibu, hal ini membuktikan bahwa
pertumbuhan seorang calon bayi tidak dimulai setelah anak lahir, pendapat ini
diperkuat dengan adanya pendapat Abu Ahmadi, yang mengatakan bahwa ada berbagai
faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anak sewaktu masih dalam
kandungan, misalnya kesehatan ibu, umur dan suasana jiwa ibu dan lain lain.[18]
Maka dapat dikatakan pula bahwa keluarga adalah salah satu pusat pendidikan,
kelembagaan, dimana tempat berlangsungnya pendidikan, atau sebagai pendidik
yang alamiah [19]
Peran keluarga dalam pengasuhan anak menurut Rifa ada empat, pertama,
pengasuhan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Disini ada tuntunan
bagi orang tua laki-laki maupun perempuan untuk berusaha memilihkan pasangan
yang terbaik sesuai dengan tuntunan agama dengan maksud bahwa orang tua yang
baik kemungkinan besar akan mampu mengasuh anak dengan baik pula. Kedua, pengasuhan
anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa-masa dewasa dengan
memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak agar taat beragama untuk
menyembah Allah swt, ketiga, memberikan pendidikan yang terbaik pada anak, terutama pendidikan
tentang budi pekerti dan penanaman jiwa yang agamis semenjak anak masih kecil
dengan cara membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik, keempat, agama
yang ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan tetapi bagaimana
anak mampu mencapai kesadaran pribadi untuk ber-Tuhan, sehingga melaksanakan
semua aturan agama terutama implementasi rukun Iman, rukun Islam, dan Ihsan
dalam kehidupan sehari-hari.[20]
Masih mengenai keluarga
Fuaduddin juga mengatakan bahwa
keluarga merupakan salah satu lembaga yang sangat penting dalam proses
pengasuhan anak.[21]
Meskipun bukan satu-satunya faktor penyebab,
namun dalam hal ini keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Bahkan secara teoretis keluarga yang baik
adalah di situ akan tumbuh anak yang
memiliki dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan yang cukup kuat untuk menjadi
manusia dewasa. Di sini lembaga keluarga
terbentuk sejak adanya pertemuan suami dan istri yang permanen dalam masa yang cukup lama sehingga berlangsunglah
sebuah proses reproduksi. Mengenai bentuk keluarga yang paling umum diketahui
dalam pengertian yang cukup sederhana bahwa keluarga adalah terdiri dari ayah, ibu dan anak (keluarga
batih), di sini ada dua komponen yang pertama yaitu ibu dan ayah, yang dapat di
katakan sebagai komponen yang sangat menentukan untuk pertumbuhan dan kehidupan
anak, khususnya anak pada usia dini,
baik ayah maupun ibu, kedua-duanya sangat berperan sebagai pengasuh utama dan
pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan biologis
maupun psikologis.
Keluarga adalah merupakan ikatan suami istri yang sah melalui proses perkawinan. Sehingga di sini
perkawinan merupakan penyatuan dua individu antara pria dan wanita dengan
melibatkan persamaan dan perbedaan . Adapun kualitas keluarga dalam Islam
ditentukan oleh proses pertemuan yang terjadi antara calon suami dan istri.
Dalam hal ini Islam mengajarkan konsep perkawinan yang lebih dari pada sekadar
kontrak (a’qd), akan tetapi pernyataan
kesetiaan pada agama yang dibuktikan dengan ketaatan pada prosedur dan tata
cara yang diatur oleh syari’ah. Perkawinan yang syah adalah perkawinan yang dapat
dikatakan sebagai syarat mutlak didalam membangun keluarga yang baik demikian
juga sebaliknya, keluarga yang tidak dibangun oleh proses perkawinan menurut
Islam pasti akan rapuh karena lemahnya ikatan, khususnya ikatan moral, karena
didalam keluarga bukan hanya sekadar tempat pertemuan antar komponen yang ada
didalamnya, namun lebih dari itu, keluarga adalah juga memiliki fungsi
reproduktif, religious, rekreatif, educative, sosial dan protektif..
Melalui reproduksi setiap keluarga mengharapkan akan kehadiran dan agar
memperoleh anak yang saleh, keturunan yang berkualitas, sebagai perekat
bangunan keluarga, tempat bergantungnya ayah dan ibu di hari tua, maupun sebagai generasi penerus
cita-cita orang tua. Melalui fungsi religious ini lembaga keluarga diharapkan
dapat berperan aktif sebagai lembaga sosialisasi nilai-nilai moral agama,
sehingga pada akhirnya menjadi keluarga yang disebut dengan keluarga sakinah
yang artinya keluarga yang tumbuh dari cinta kasih yang permanen antara suami
dan istri, dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan, saling membantu dan
saling melengkapi dalam pembagian tugas antara suami-istri dalam urusan
keluarga (domestik) maupun urusan publik sesuai kesepakatan bersama. Atas dasar
persamaan dan kesetaraan tersebut, maka ketika keluarga sudah memiliki anak
maka anak laki-laki sebaiknya tidak
hanya diarahkan kepada pendidikan yang sifatnya “maskulin” semata tetapi
hendaknya juga diberi kesempatan memperoleh pendidikan yang bersifat
“feminine”seperti kesenian dan sebagainya.
Dari hasil penelitianya Fatwa mengatakan bahwa,[22] ada lima langkah yang bisa dilakukan oleh
orang tua terhadap anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Pertama, mengidentifikasi
sambil mencari informasi untuk lebih memahami perasaan anak, sehingga seorang
anak mengerti keinginan dan kebutuhanya.
Kedua, memperlakukannya dengan kasih sayang dan penuh kesabaran, ketiga,
memberikan reward, baik verbal maupun non verbal berupa pujian dan hadiah, keempat,
antara ayah dan ibu mempunyai kerja sama yang baik, kelima,terapis/psikolog
untuk menerapi anak. Dalam akhir ulasanya Fatwa mengatakan bahwa apabila orang
tua bisa membina anak dengan tepat maka
akan tumbuh generasi penerus yang memiliki kontribusi besar bagi kemaslakatan
umat. Perkembangan mereka sebenarnya tak kalah dengan anak-anak normal.
Keturunan atau ginetik merupakan faktor bawaan sejak bayi lahir karena
tiap-tiap individu mendapat turunan
kromosom atau gen sifat dari ibu dan ayahnya, sehingga anak akan
memiliki sifat fisik juga psikis yang
mirip dengan orang tuanya. Memelihara kelangsungan hidup anak mencakup
kuwajiban merawat, memberikan kasih sayang, mengasuh dan mendidik anak-anak dengan
sebaik-baiknya.[23]
Ketika seorang anak sudah memasuki bangku sekolah dasar misalnya ternyata pola
asuh orang tua yang sudah baik jika tidak di imbangi dengan pendidikan agama
disekolah, akan sangat berpengaruh bagi anak. Dalam hal ini Rifa juga
mengingatkan bahwa peran orang tua di
dalam mengasuh anak anaknya,sangatlah diharapkan, dalam mengasuh anak tersebut
hendaknya orang tua tidak memaksakan terhadap kemampuan seseorang,
karena pendidikan sebenarnya hanya bersifat membimbing, dan mengarahkan, agar
potensi yang dimiliki oleh seorang anak dapat berkembang dengan baik.[24]
Keluarga memiliki peran penting dalam menumbuhkembangkan jasmani dan
rohani anak. Rosulullah Saw,selama tiga
belas tahun lamanya memberi contoh mengenai pengasuhan anak yang baik adalah
dengan menggunakan keluarga sebagai penyalur perubahan dalam masyarakat.[25]
Para sosiolog juga mengungkapkan bahwa masyarakat secara struktural terdiri
dari keluarga-keluarga. Penyimpangan dalam masyarakat sering dipotret dalam
mekanisme hubungan inter dan antar keluarga. Sering juga dideskripsikan bahwa,
kekuatan masyarakat akan hilang jika anggota keluarga itu gagal dalam
menunaikan tanggung jawabnya.
Fakta menunjukan bahwa kegagalan pendidikan anak dalam hal
ini ditegaskan oleh M. Maftuh Basyuni
(Mantan Menteri Agama), mengatakan bahwa pendidikan agama yang
berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran)
dari pada afeksi (rasa) dan psikomotorik (perilaku)[26].
Hal ini dapat dibuktikan adanya hasil penelitian Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan tahun 2000, bahwa merosotnya moral dan akhlak peserta didik
disebabkan antara lain akibat dari kurikulum pendidikan agama yang terlampau
padat akan materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran
ketimbang membangun kesadaran keberagamaan yang utuh. Selain itu, metodologi
pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan.
Buku-buku paket pendidikan agama saat ini juga belum cukup memadai untuk membangun kesadaran beragama bagi anak didik, dan belum dapat memberikan
keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlak
mulia pada peserta didik[27].
Pada saat yang bersamaan, Akmal Hawi juga mengatakan bahwa , sebenarnya
apabila ditinjau ulang secara kritis, muatan kurikulum pengajaran keagamaan dan
keimanan terkesan masih bersifat umum
dan sangat luas, tidak seimbang dengan alokasi waktu yang ada. Karenanya tidak
mungkin terserap dengan baik oleh siswa, khususnya pada jalur persekolahan umum. Kurikulum yang berlaku terlalu berkutat pada aspek
teoritis, dan memberi porsi yang minim pada wilayah praktek. Di samping itu
tidak jelas mana materi yang merupakan penambahan dan mana materi pendalaman[28].
Senada dengan hal itu, Ahmad Ludjito juga
mengatakan bahwa walaupun kedudukan pendidikan agama sebagai sub-sistem pendidikan nasional yang sangat
kuat, namun dalam prakteknya masih dijumpai beberapa masalah, antara lain: 1)
kurangnya jumlah jam pelajaran; 2) metodologi pendidikan agama yang belum
tepat; 3) adanya dikotomi pendidikan agama dengan pendidikan umum; 4) heterogenitas
pengetahuan dan penghayatan agama peserta didik dan 5) kurangnya perhatian dan
kepedulian kepala sekolah dan guru-guru lain[29].
Setelah anak pulang dari bangku sekolah anak
akan berhadapan dengan masyarakat yang didalamnya tumbuh berbagai macam
kebudayaan.
Minimnya pengetahuan di kalangan masyarakat
tentang konsep pendidikan anak usia dini serta sikap ragu dan bahkan khawatir
untuk memasukan anak ke lembaga pendidikan pada usia dini misalnya, diduga
menjadi sebab masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan usia dini, termasuk partisipasi orang tua dalam memberikan stimulasi
ketika anak di rumah. Selain itu, faktor-faktor sosial-ekonomi juga sangat
berpengaruh terhadap tingkat pemahaman dan partisipasi, orang tua yang menaruh
harapan besar terhadap perkembangan
anaknya khususnya secara kognitif, akan mendorong anaknya untuk selalu “belajar”.
Gunarso mengatakan bahwa kesabaran, keuletan dalam mendidik anak sangat penting
bagi pembimbing, bagi guru, maupun bagi orangtua[30].
Ki Hadjar Dewantara telah mengingatkan juga kepada kita semua bahwa pendidikan
merupakan tanggung-jawab bersama baik antara keluarga, sekolah maupun
masyarakat, karena dari situlah akan tumbuh kebudayaan.
Kebudayaan
secara umum adalah kesadaran akan nilai-nilai dalam semestaanya, yang pada
tingkat terendah kebudayaan mengandung makna suatu kesadaran intuitif dari identitas nilai baik dari urutan pada tingkat yang
sesungguhnya yaitu setiap nilai, serta kuwajiban
seseorang untuk mengejar dan mewujudkan nilai–nilai itu.[31] Sedangkan pada
tingkat tertinggi kesadaran akan nilai ini disiratkan bahwa selain yang disebut
diatas, pengetahuan yang luas akan nilai-nilai dan hubungan timbal balik dengan
tingkatan-tingkatanya, sehingga dalam sejarahnya proses perkembangan yang
dengannya kesadaran akan nilai-nilai itu mencapai pada tingkat kesadaran
tersebut diatas, dan juga komitmen kolektif kesadaran diri kearah pencapaian
dan perwujudan dalam kesemestaan nilai itu, maka kesadaran terhadap suatu nilai
tidaklah dengan sendirinya berarti kebudayaan. dalam hal ini kebudayaan adalah
perspektif kenyataan nilai yang tidak mungkin diperoleh tanpa pengamatan yang
menyeluruh terhadapnya. Sedikit agak berbeda dengan pengertian
kebudayaan, menurut Andre yang
mengatakan bahwa budaya adalah bagian dari sistem dan nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Salah satu budaya yang membentuk perilaku masyarakat adalah budaya
patriarkhi, yakni relasi laki-laki dan perempuan yang menguntungkan fihak
laki-laki. Budaya ini tidak mengakomodasikan keselarasan dan keseimbangan, sehingga perempuan menjadi dianggap kurang penting untuk diperhitungkan.
Secara umum patriarkhi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan
laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan apapun yang terjadi
dalam keluarga, . sistem ini hanya dianggap
baik sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan kerja seks.[32]
Budaya patriarkhi disebabkan oleh
latar belakang pemahaman masyarakat tentang relasi laki-laki dan perempuan atau
bisa disebut dengan gender, dimana kata gender itu sendiri adalah definisi
seseorang tentang dirinya , khususnya diri perempuan, yang merupakan interaksi
kompleks antara kondisi biologisnya sebagai perempuan dan berbagai
karakteristik perilakunya yang ia kembangkan sebagai hasil proses
sosialisasinya.[33]
Mengenahi
hal-hal yang menyinggung dan yang berkaitan erat dengan kebudayaan dalam hal ini
mengingat manusia adalah makluk sosial maka
manusia tentu memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda terutama dalam komunikasi dengan lingkungan sekitarnya, ada
pendapat yang mengatakan bahwa keluarga
adalah perantara budaya lokal dalam unit sosial, di mana nilai-nilai budaya
mulai ditanamkan dari generasi tua kepada generasi muda.[34] Nilai budaya mengandung
pengajaran budi luhur, tingkah laku yang utama, adat istiadat dan kesopanan
yang telah diwariskan oleh para leluhur serta pujangga jawa yang dijadikan
sebagai salah satu pegangan hidup bagi
masyarakat jawa.[35] Karena masyarakat dan budaya merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan.
Berangkat dari realita yang telah terjadi selama ini, ternyata masyarakat pada umumnya masih saja cenderung
menafikan keberadaan lembaga keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan yang paling utama, sehingga dengan bergesernya fungsi peran utama orang tua sebagai pendidik yang pertama
di dalam keluarga bisa dibilang terabaikan. Padahal keluarga mempunyai pengaruh
yang sangat besar baik terhadap simbolisme maupun pembentukan mentalitas kesadaran yang
mengarah pada pembentukan sikap perilaku sosial, politik ataupun keberagaman
dalam unsur budaya lokalitas.
Penelitian
terhadap obyek ini menurut penulis masih memiliki ruang dan layak
untuk dilakukan penelitian. Mengingat pendidikan yang masih terus perlu disempurnakan, maka peneliti ingin membidik pada pola pengasuhan
anak dalam masyarakat Samin[36], karena Samin
masih kental dengan tradisi lokalnya terutama kesederhanaan dan kejujuranya
khususnya di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan mereka sangat menjunjung
tinggi sifat gotong royong. Abdurahman mengatakan, pulau yang
membentang di nusantara ini sebanyak 17.800 baik kecil maupun besar, hal ini
telah mengakibatkan kemajemukan suku dan etnis yang berbeda-beda menurut
daerahnya masing masing.[37]
Dengan mengambil obyek penelitian pada masyarakat Samin, sebuah etnis yang relatif
terabaikan dari fenomena yang ada, maka
peneliti memutuskan bahwa masyarakat Samin cukup menarik untuk di
lakukan penelitian, sehingga peneliti
dapat menganalisis pandangan
orang tua dari keluarga Samin dalam pengasuhan anak,kemudian penulis hubungkan
pola pengasuhan anak menurut Islam, disamping itu dengan penelitian ini dapat melihat keberadaan orang Samin saat ini sebagai akibat dari kehadiran
modernisasi, sehingga fenomena apa saja yang terjadi saat ini dapat
dikupas secara tuntas.
B. PEMBAHASAN
1. Kajian Teori
a. Pengertian Pola Pengasuhan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa, pengasuhan berasal dari kata asuh
yang artinya proses,[38]
sedikit berbeda dengan apa yang di
katakan oleh James yang mengatakan bahwa pengasuhan mempunyai pengertian
sosialisasi.[39] Sedangkan
anak artinya keturunan yang kedua,[40]
pengertian anak secara umum adalah keturunan dari seorang ayah dan ibu dalam
suatu keluarga.
Pengasuhan bisa juga di artikan sebagai berikut “Al-hadhanah
(pengasuhan) adalah “ mendidik dan menjaga anak”,[41]
kata-kata di atas adalah musytaq (turunan; derivasi) dari
kata al-hadhnu. Sehubungan dengan hal ini maka para ulama menetapkan
bahwa seorang ibu lebih
diprioritaskan dalam pengasuhan
anak-anak dari pada seorang ayah. Sebab peran ibu menurut para ulama dipandang
lebih mampu untuk melindungi anaknya secara sempurna baik dalam hal makanan
maupun dalam hal kesehatan. Lebih terinci lagi para ahli fiqh juga mengatakan
bahwa terkait pengasuhan anak dalam hal ini
para ahli membedakan pola pengasuhan antara anak laki-laki dengan anak
perempuan sedikit berbeda, perbedaan itu
adalah sebagai berikut untuk batas akhir pengasuhan anak laki-laki pada usia 7
(tujuh) tahun dan 9 (Sembilan) tahun batas akhir pengasuhan bagi
anak perempuan. Masih menurut para ahli fiqh mengatakan bahwa masa pengasuhan
adalah masa dimana anak memperoleh
akhlak dan etika serta kebiasaan-kebiasaan positif yang murni dari kedua orang tuanya.
Menurut Garbarino dan Benn sebagaimana dikutip Nanang Kosim, pengasuhan
(parenting) adalah suatu perilaku yang pada dasarnya mempunyai kata-kata kunci yaitu kehangatan,
sensitive, penuh penerimaan, bersifat resiprokal, ada pengertian, dan respon
yang tepat pada kebutuhan anak.[42]
Dalam pengasuhan ini keterlibatan seorang ayah ada dalam tiga bentuk, yaitu engagement
atau interaction, yaitu interaksi satu-satu dengan seorang anak. Kegiatan
dapat berupa memberi makan, mengenakan baju, berbincang, bermain, mengerjakan
pekerjaan rumah dari tugas sekolah, dan sebagainya. Accessibility adalah
bentuk keterlibatan yang lebih rendah, yaitu seorang ayah sangat dekat dengan
anak tetapi tidak mengadakan interaksi langsung dengan anak. Responsibility adalah
bentuk keterlibatan yang paling inten, karena melibatkan perencanaan,
pengambilan keputusan, dan pengorganisasian.
Idealnya memang dalam pengasuhan anak, orang tua mempunyai sikap
memahami situasi dari anak, menyayangi, peduli pada kegiatan yang dilakukan
oleh anak-anaknya, mendukung dan membimbing pada arah perkembangan potensi anak-anaknya, serta menjalin hubungan
yang bersifat kedekatan emosi. Dalam hal ini kedekatan emosi antara orang tua
dengan anak. Artinya bahwa orang tua merupakan tempat untuk membagi perasaan,
mempedulikan pendidikan anak, mengarahkan cara-cara pemecahan masalah,
mengarahkan cara-cara menghadapi orang-orang yang berbeda, serta membimbing
dalam masalah pengetahuan umum maupun keagamaan.
b. Pemaknaan Istilah Pola Pengasuhan
1. Pengasuhan anak
Anak termasuk individu yang unik
mereka mempunyai eksistensi dan memiliki jiwa sendiri, serta mempunyai hak
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan iramanya masing-masing
yang khas. Ada sebuah contoh misalnya dalam sebuah riwayat bahwa pada suatu
hari Rosulullah saw, mencium Hasan dan Husen. Lalu Aqra’ bin Hafis berkata
kepadanya, “aku mempunyai sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium satu
pun dari mereka”. Mendengar penuturan Aqra’ yang demikian itu, maka marahlah
Rasulullah saw, sehingga berubah wajahnya. Beliau lalu berkata ,” jika Allah
telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu, apa lagi yang dapat kulakukan
kepadamu ? siapa yang tidak mengasihi anak dan tidak menghormati orang tua,
maka ia tidak termasuk golongan kami.”
Orangtua yang memeluk kemudian mencium anak-anaknya, merupakan ungkapan
yang paling dalam dari diri orang tua kepada anak mereka. Sehingga anak-anak
secara fisik maupun psikis dapat tumbuh dan berkembang dengan baik atas kasih
sayang orangtua . Sebagaimana dekapan
penuh kasih sayang dan ciuman dari seorang ibu yang shalikhah, kelak
mengantarkan imam Syafi’i tumbuh dan berkembang menjadi seorang mujtahid besar.
Semuanya ini tentu saja menjadi kenangan manis dan pelajaran berharga bagi kita
semua untuk meneladaninya.
Seorang Anak belajar dari nilai-nilai dan norma-norma sosial pertama
kalinya juga dari lingkungan keluarga, yakni dari ayah, ibu dan orang dewasa
lain yang ada dikeluarganya.[43]
Dengan demikian orang tua (ayah dan ibu) merupakan pembentuk dan pewaris pranata sosial
di lingkungan keluarganya. Peranan orang tua sebagai penanggung jawab keluarga
sangat dominan dan menentukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarga,
sekaligus kelangsungan hidup di masyarakatnya, terutama dalam melanjutkan
keturunan, afeksi dan sosialisasi.
Pengasuhan anak oleh orang tua menurut pesan Rosulullah saw, bisa dilakukan dengan berbagai bentuk
permainan,[44]
karena dengan permainan anak akan merasa senang dan sangat merasa terhibur
karenanya. Islam mengintroduksi konsep yang menarik yaitu konsep bermain[45],
dengan bermain maka anak dapat mengekspresikan kreativitasnya, menyatakan apa
yang ada dalam dirinya, baik yang menyangkut pikiran, perasaan maupun
kehendaknya. Dengan bermain anak dapat belajar mengaktualisasikan diri. Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa permainan harus dipandang sebagai latihan
fungsi-fungsi yang begitu penting di dalam kehidupan.[46]
Ada fenomena yang cukup menarik dan dapat disimak oleh kita semua dalam
hal perrmainan, supaya orang tua tidak salah dalam memberikan alat permainan
bagi anak-anaknya. Mantan Menteri kesehatan RI yaitu, Dr H Adhyatma, MPH sebagaimana dikutip oleh
Imam Musbikin mengatakan bahwa alat permainan elektronika yang dimiliki anak-anak
seperti sekarang ini, sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak,
sebab sama sekali tidak dapat menampakan
respon emosi, sehingga perkembangan anak dalam bermain dirasakan agak
terganggu, hal ini di karenakan menipisnya rasa solidaritas mereka dengan
teman-temanya.[47] Berbeda jikalau kita memanfaatkan benda benda
yang ada disekitar rumah tangga kita, karena sesungguhnya setiap benda rumah
tangga yang tidak tajam, tidak mudah pecah, dan tidak mudah tertelan,
sebenarnya mempunyai suatu bentuk mekanisme tertentu, bisa dijadikan alat
bermain bagi anak, bahkan bisa
mengasyikkan (Robert B.McCall, Ph.D).
Pekerjaan apapun akan menjadi alat bermain jika anak melakukannya dengan sukarela dan ia
menemukan kesenangan di saat mengerjakanya. Permainan disini hanya sebuah
pendekatan agar anak memiliki gairah dalam mengikuti proses pengasuhan menuju
kepribadian yang saleh. Ada sebuah pernyataan yang menarik untuk disimak oleh
kita semua adalah siapa sebenarnya anak shaleh itu,disini dijelaskan bahwa anak
saleh adalah anak yang menjadi dambaan
semua keluarga, anak yang menjadi impian kedua orang tuanya. Tentu dalam hal ini keluarga mempunyai cara
tersendiri untuk mencapai cita-cita kesalehan itu. Lika liku pengalaman dalam
membina kehidupan rumah tangga dalam mendidik anak-anaknya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial
budaya, lingkungan keberagaman, pola pemahaman agama orang tua, dan lain
sebagainya.
Menurut Elizabeth dikatakan bahwa dalam pengasuhan anak setidaknya ada 3
(tiga) pola yang digunakan oleh orang tua di dalam menanamkan nilai dan
kedisiplinan bagi anak yaitu, pertama, pola otoriter, kedua, pola
demokratis dan ketiga, pola
permisif.
a. Pola otoriter
Dalam pola ini orang tua mempunyai kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan
tertentu yang agak kaku, sehingga semua
tindakan anak yang menurut orang tua menyimpang
akan diberi hukuman, dalam hal
ini tingkah laku anak di kekang dan tidak ada kebebasan bagi seorang anak,
orang tua menentukan apa saja yang harus dilakukan oleh anak, sehingga anak tidak
mendapatkan kesempatan untuk mengendalikan perbuatan-perbuatanya.
b. Pola demokratis
Model diskusi dengan anak sangat di kedepankan oleh orang tua, jika anak
diminta mematuhi sebuah aturan misalnya maka pihak orang tua terlebih dahulu
menjelaskan dan memberikan alasan alasanya, sehingga anak dapat mengerti benar
apa tujuanya dan mengapa ia harus mematuhi aturan-aturan itu, maka dalam hal
ini orang tua menekankan aspek pendidikan di bandingkan aspek hukuman, kecuali
jika anak melanggar aturan-aturan yang dibuat orang tua, disitu ada sedikit
hukumam ringan namun tidak kasar, demikian juga sebaliknya jika anak melakukan
hal-hal yang sesuai dengan apa yang patut untuk ia lakukan maka orang tua merasa bangga dan memberi pujian.
c. Pola permisif
Sikap orang tua cenderung membiarkan anak untuk berbuat, hukuman tidak
dijadikan alat untuk mengendalikan perbuatan anak, sehingga anak merasa bebas
mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan dalam
berbuat, ketika anak terbukti melakukan
suatu pelanggaran maka orang tua baru bertindak, dalam hal ini pengawasan
terhadap anak sangat longgar. [48]
Pemberian hadiah terhadap anak yang ditawarkan al-Ghazali merupakan
salah satu pemenuhan rasa harga diri
anak, seseorang harus dipuji atas perbuatan baik yaitu perbuatan yang
dilakukanya dan dalam hal ini budi pekerti terpuji yang di sandangnya pantas
diberikan sebagai hadiah. Pemberian hadiah sangat bermakna bagi anak,
penerimaan, penghargaan, perhatian serta pengakuan terhadap anak.
Dalam hal pendidikan menurut Imam al-Gazali mengatakan bahwa dasar bagi
pendidikan Islam adalah aqidah, akhlak, penghargaan pada akal, kemanusiaan,
keseimbangan dan rahmat bagi seluruh alam, aplikasi dari pendapat al-Ghazali
ini mengarah pada pembentukan pribadi yang beraqidah Islam, berakhlak mulia dan
berfikiran bebas,[49]
arah riilnya adalah terwujudnya Taqarrub ila-Allah (pendekatan diri
kepada Allah) yang memiliki integritas kepribadian muslim (insan kamil )
sehingga terjadi keseimbangan antara fisik-biologis dengan mental religious,
dan dapat menghindarkan diri dari sifat simtom hati dan nafs, sehingga tercipta
ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup.[50]
Disamping itu al-Ghazali juga mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling utama adalah
beribadah (taqarrub) kepada Allah, dan kesempurnaan insani untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.[51]
Imam al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din, juga
mengatakan bahwa strategi pendidikan moral meliputi, musahabah
(keakraban antara orang tua dengan anak, antara guru dengan murid); induktrinasi
dan ta’dib (pengajaran akhlak) sejak dini serta penalaran. Pendidikan
moral dalam hal ini harus mampu mengintegrasikan antara moralitas dengan
lingkungan. Karena lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap proses
internalisasi nilai bagi seorang anak.[52]
Sebab setiap orang memiliki tanggung jawab moral yang sama sehingga mampu
menciptakan lingkungan yang sehat di dalam masyarakat.
Menurut Ibn al- Qayyim al-Jauziah setidaknya ada 3 (tiga) hal yang
seharusnya diperhatikan oleh orangtua dalam proses internalisasi nilai bagi
seorang anak, yaitu (1) tahzib al-khidmah, yaitu usaha memurnikan dan
membersihkan penghambaan diri kepada Allah dari kebodohan, (2) tahzib
al-hal, yaitu melatih diri untuk tidak cenderung pada tuntutan nafsu, (3)
tahzib al-qasd, yaitu mendidik untuk membersihkan niat dari sifat
terpaksa dan penyakit lemah semangat.[53]
Ketiga-tiganya ini tentu sangat di dukung oleh niat yang bersih, karena semua
perbuatan tergantung pada niat, sehingga seseorang akan memperoleh apa saja
yang diniatkanya.
Al-Junaidi juga mengatakan bahwa pendidikan yang paling mendasar yang
harus ditanamkan pada diri anak adalah pendidikan akhlak, karena akhlak
merupakan sumber dari segala-galanya dalam kehidupan ini . Semua orang harus
berjalan diatas nilai-nilai moral dan akhlak,
karena tidak ada kehidupan tanpa akhlak.[54]
Tentu dalam hal ini pendidikan dalam arti luas, yaitu menurut para ahli
psikologi pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum
dewasa agar mempunyai kemampuan yang
sempurna dan kesadaran penuh terhadap tugas-tugas sosialnya dalam
bermasyarakat.[55]
Kehadiran Rosulullah saw di muka bumi
juga hanya semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.
M. Sattu Alang menawarkan anak yang berkualitas merupakan dambaan setiap
keluarga. Terbentuknya anak saleh dari hasil proses pendidikan, bukan hanya terjadi
pada sekolah, namun integrasi baik di
dalam rumah tangga, masyarakat dan lingkungan, nilai-nilai sosio-kultural
(budaya) pada hakekatnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam maka dalam
diri anak akan membentuk kepribadian yang mulia sehingga menjadi anak saleh.[56]
Adapun berbicara tentang nilai misalnya sebagaimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai-nilai Islam
menurut Nasution adalah nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam baik dari
sisi aqidah, dari sisi akhlak, dan syari’ah, yang tentunya ketiga unsur pokok
itu merupakan sebuah sistem nilai yang tidak dapat dipasah-pisahkan antara satu
sama lainya.[57]
Dalam hal pembentukan akhlak misalnya Ulwan juga menawarkan strategi pembentukan
akhlak anak dalam keluarga melalui
keteladanan, pembiasaan, pemberian nasehat, perhatian dan melau pemberian
hukuman.[58].
Tanpa adanya teladan yang baik disini anak akan kehilangan arah yang jelas untuk
menuju terbentuknya akhlak yang mulia, suritauladan yang kosong akan merusak
kebahagiaan rumah tangga.
2. Perubahan sosial
Perubahan dalam kehidupan setiap masyarakat merupakan suatu yang wajar,
oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak terbatas. Perubahan-perubahan
itu akan tampak setelah tatanan sosial
masyarakat yang lama dibandingkan dengan yang baru, antara desa dan kota, dan
sebagainya.maka perubahan yang terjadi tersebut bisa saja merupakan kemajuan
atau mungkin bisa saja suatu kemunduran,[59]
antara lain suatu masyarakat dari waktu kewaktu awalnya hanya sederhana tetapi
karena masyarakat mengalami perkembangan maka akhirnya menjadi suatu yang
kompleks, karena perubahan tersebut
biasanya bersifat berantai dan saling berhubungan antara satu unsur dengan
unsur kemasyarakatan yang lain, perubahan sosial dimaksud adalah perubahan
fungsi kebudayaan.
Hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada penjelasan yang mengarah adanya single
factor tentang kenapa orang itu berubah dan kenapa seseorang menolak berubah.
Secara garis besar , alas an itu bisa dibagi menjadi dua , yaitu alasan
internal dan eksternal. Pertama, manfaat.
Orang akan berubah kalau tahu/merasakan manfaatnya (result knowledge),
sebaliknya, orang akan merasa masa bodoh kalau manfaatnya tidak jelas, maka pegangan untuk mengajak
orang lain berubah adalah what-is-in-it-for-me,manfaat ini tentunya
banyak : mungkin finansial, mungkin emosional, mungkin intelektual, dan
seterusnya. Kedua, kesadaran. Ini bisa berbentuk sebuah momen internal
yang menjadi titik balik di dalam diri seseorang. Orang akan berubah kalau
dirinya mengalami proses yang disebut altered
state of consciousness,” punya kesadaran baru untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh
misalnya, ada seseorang yang diberhentikan dari tempat kerja, karena mempunyai
temperamen yang tidak terkontrol, sejauh orang itu sadar akan kekurangan yang
dimiliki dan bahaya yang nyata , orang itu dipastikan akan menempuh proses
perubahan menuju kearah yang lebih baik, tetapi kalau kesadaran itu tidak
muncul , perubahanpun sulit terjadi. Dalam sebuah kisah dalam kitab Dalil
al-Sailin yang ditulis oleh Anas Ismail (1996:475) sebagimana dikutip oleh Amin
Nur, bahwa[60]
ada seseorang yang bernama Ibrahim bin Adham yang bergelimang dengan harta dan
kenikmatan hidup berasal di daerah Khurasan, suatu hari ketika Ibrahim
melihat-lihat Istananya, ia melihat seorang miskin berada di halaman kebunya,
sementara orang tersebut cukup makan sepotong roti sederhana, setelah orang tersebut makan roti kemudian ia
tidur lelap, dari kisah itu Ibrahim dapat mengambil pelajaran dari pergaulan
sosialnya, berangkat dari kesadaran dirinya sendiri. Ketiga, harapan.
Orang akan berubah kalau ada harapan baru atau harapan yang lebih jelas. Karena
itu ada yang mengatakan orang akan tetap “hidup” selama harapanya masih hidup. Harapan baru itu bisa
mengubah orang bisa kreatif, semangat dan inovatif, karena ketika mengubah
harapan maka sikap akan berubah.(Jhon
Maxwell)[61]. Keempat
keberanian. Orang akan berubah begitu punya keberanian untuk melawan ketakutanya
selama ini. Keberanian ini ini bisa berupa berasaskan moral, mental atau
alasan-alasan lain yang mendukung. Keputusan orang untuk menikah misalnya,
umumnya terkait soal keberanian ini. Kelima sasaran. Sasaran ini adalah
sesuatu yang akan diraih, bentuknya bisa berupa goal, target, objective,
vision, dan lain-lain. Orang akan berubah kearah yang lebih baik kalau
sasaranya diperbaiki, diperjelas, dikoreksi, diriilkan, dan seterusnya. perubahan
itu berupa langkah yang lebih fokus, lebih giat, lebih disiplin, lebih matang
dan lain-lain. Seseorang yang tidak berubah pola pikirnya, berarti juga tidak
bisa berubah keyakinan, tingkah laku dan gaya hidupnya. Kehidupan bukan hanya urusan agama (Islam) dan Tuhan,
tetapi juga urusan dunia dan manusia tanpa membedakan dari mana dia berasal.
Salah satu tokoh yang memiliki
gagasan perlunya pendidikan Islam yang dapat merespons tuntutan perubahan
sosial masyarakat adalah Malik Fadjar. Pada kaitanya dengan hal ini menurut Malik
Fadjar, tidak tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan
Islam sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan
keagamaan yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga
pendidikan Islam kurang menjajikan masa depan dan kurang responsive terhadap
perkembangan, perubahan, dan tuntutan masyarakat masa depan. Padahal, paling
tidak ada tiga hal yang dipertimbangkan oleh masyarakat atau orang tua dalam
memilih lembaga pendidikan sebagai tempat studi anaknya, yaitu nilai (agama),
status sosial, dan cita-cita.[62]
Bahkan, dalam konteks perubahan sosial seperti sekarang ini, status sosial dan
cita cita merupakan pilihan yang dominan karena dianggap menjajikan masa depan.[63] Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam yang
berorientasi keagamaan semata tanpa berorientasi tuntutan masyarakat hampir
bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam era perubahan, secara keilmuan
masyarakat yang berilmu pengetahuan dapat memilih dengan cepat lembaga
pendidikan mana saja yang menjajikan masa depan. Lembaga pendidikan yang tidak
menjajikan masa depan masyarakat tentu akan dijauhi dan tidak lagi menarik
masyarakat sebagai tempat menuntut ilmu. Walaupun demikian Malik Fadjar
berharap agar ketika faktor tersebut diatas dijadikan sebagai faktor yang
sama-sama sangat penting dalam konteks pendidikan Islam.[64]
Strategi untuk mengatasi problem pendidikan Islam sebagimana di jelaskan
diatas, menurut Malik Fadjar, perlunya dibangun sebuah pemikiran-pemikiran baru
tentang pendidikan Islam yang dapat mengantisipasi dan mengakomodasi,
pendidikan Islam yang menciptakan umat terbaik, yaitu pendidikan Islam yang
mampu menciptakan sumber daya manusia yang berilmu pengetahuan yang tinggi dan
memiliki ketrampilan yang tidak hanya siap menjadi tenaga kerja, tetapi juga
mampu menjadi agent of social change yang mencerahkan dan memecahkan
masalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat muslim khususnya, dan pada
umumnya manusia secara keseluruhan. Pemikiran atau gagasan-gagasan ini dapat
diimplementasikan secara praksis melalui pembaruan atau perubahan-perubahan
institusi pendidikan Islam, seperti misalnya pada perguruan tinggi, pesantren
dan madrasah.
Sebagai pemikir pendidikan Islam kontemporer, Malik Fadjar adalah merupakan
salah satu tokoh sentral yang cukup banyak telah melakukan perubahan-perubahan
mendasar terutama pada aspek sistem pendidikan Islam. Peranya dalam pembaruan
kurikulum pendidikan agama misalnya , baik dari kurikulum 1995 ke kurikulum
1997, patut dicatat,[65] oleh karena itu Azyumardi Azra menyebutnya
sebagai Driving force dalam kemunculan kurikulum 1997,”[66]
di lingkungan Universitas Muhammadiyah Malang, ia tidak memberlakukan kurikulum
resmi tersebut, tetapi sebaliknya ia bahkan menggunakan “kurikulum adaptasi”
karena kurikulum adaptasi dianggap mampu meningkatkan mutu akademis dan
kemampuan mahasiswa.[67]
Kurikulum adaptasi merupakan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan
institusi, misalnya manajemen, ilmu computer, dan lain-lain.[68]
Kurikulum ini merupakan kebalikan dari
kurikulum “recehan” yang dinilai tumpang tindih antara satu dengan
lainya. Imam Suprayogo, mengakui bahwa konsep Malik Fadjar tentang sintesa
perguruan tinggi dan pesantren diterapkan di perguruan tinggi agama Islam tersebut dengan mendirikan Ma’had
Aly.[69]
Demikian juga dengan pola kepemimpinan di UIN Malang , Imam mengakui
mempraktikan kepemimpinan model Malik Fadjar, dan ia menganjurkan agar biografi
Malik Fadjar harus dibaca oleh para mahasiswa jurusan kependidikan, baik di
lingkungan perguruan tinggi agama maupun
di lingkungan perguruan tinggi umum.[70]
Orientasi pemikiran pendidikanya tidak saja progresif, tetapi juga religious,[71]
dan oleh karena itu ia sering mengkritisi sistem pendidikan Islam yang hanya
berorientasi pada teologis (tidak mengkaitkan pendidikan Islam dengan realitas
sosialnya).
Perubahan adalah suatu keniscayaan bagi segala sesuatu dalam kehidupan
ini, bahkan stabilitas juga merupakan perubahan yang normal dan berarti. [72]
karena kehidupan masyarakat merupakan sistem, maka perubahan apapun yang
terjadi pada salah satu sub sistemnya akan mempengaruhi bagian lainya.
Perubahan itupun seharusnya bisa terjadi pada nilai-nilai, pandangan hidup,
pola pikir, tingkah laku, serta pola hubungan dalam kehidupan sosial
masyarakat.[73]
Heraklitos mengatakan sebagaimana dikutip oleh Nasruddin, bahwa sesuatu berubah, semua mengalir.[74]
Masyarakat, manapun berubah dan akan
terus berubah, disukai maupun tidak disukai. Perubahan dalam kehidupan setiap
masyarakat merupakan suatu yang wajar, oleh karena itu setiap manusia mempunyai
kepentingan yang tak terbatas. Perubahan-perubahan akan tampak setelah tatanan
sosial masyarakat yang lama di bandingkan dengan yang baru , antara desa dan
kota,dan sebagainya. Perubahan bukan penghalang, melainkan perubahan bahkan
menjadi sebuah peluang. Perubahan-perubahan yang terjadi bisa
saja merupakan kemajuan atau bahkan mungkin kemunduran.[75]
Perubahan bersifat berantai dan saling berhubungan antara satu unsur dengan
unsur kemasyarakatan yang lain, perubahan sosial yang di maksud dalam
penelitian ini adalah perubahan fungsi kebudayaan dalam suatu masyarakat dari
waktu ke waktu yang mana pada awalnya hanya sederhana tetapi karena masyarakat
mengalami perkembangan maka akhirnya menjadi sesuatu yang kompleks.
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ritzer bahwa
perubahan itu bisa berbentuk perubahan biologi.[76]
Kemudian Parsons mengembangkan paradigma
perubahan evolusioner untuk menerangkan proses perubahan tersebut. Komponen
pertama dari paradigma itu adalah proses diferensiasi. Ia berasumsi bahwa
bentuk perubahan yang lain di kemukakan oleh Parsons yang mengembangkan paradigma perubahan evolosioner
untuk menerangkan proses perubahan tersebut. Komponen pertama dari paradigma
itu adalah proses deferensi. Ia berasumsi
bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda
berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat
yang lebih luas.[77] ini
yang disebut model perubahan sosial yang sangat positif, karena menurutnya
ketika masyarakat sudah berubah, umumnya masyarakat itu tumbuh dengan kemampuan
yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapinya, meski bagi
masyarakat kapitalis malah menjadi sebaliknya.
Komponen kedua menurut Parsons adalah berubahnya sistem yang berdasarkan
kreteria askripsi ke sistem prestasi.[78]
Dalam hal ini masyarakat yang dulunya tidak mendapat kesempatan untuk
memberikan sumbangan kepada masyarakat lain, harus mendapat kebebasan sebagai
anggota penuh dari masyarakat. Komponen terakir yang berubah seiring dengan
perubahan struktur sosial adalah sistem nilai dalam masyarakat. Bentuk
perubahan bisa berbentuk perubahan evolusi yaitu perubahan yang terjadi dengan
proses yang lambat dan berlangsung lama dan ada juga yang bersifat revolusi dimana perubahan
terjadi sangat cepat. Menyinggung tentang sosial Victory J.Baldridge juga mengatakan
bahwa ada tiga dasar gerakan sosial, yaitu (1) adanya kepemimpinan yang dapat
diterima oleh seluruh civitas akademika, (2) adanya seperangkat aturan, nilai
dan tradisi, serta (3) dibutuhkannya gerakan bersama dalam bentuk kepatuhan dan
loyalitas terhadap pimpinan.
Menurut Blumer ada dua tipe gerakan (agitator) dalam merespon situasi
yang ada.
“ agitators
seem to fall into two types corresponding roughly to have to situation. One
type of agitator is an excitable restlessness of his behavior tends to infecs
them. He is likely to act with dramatic gesture and to talk in terms of
spectacular amagery. The second type of
agitator is more calm, quiet, and
dignified. He stirs people not by what he does, but what he says. He is likely
to be a man sparing in his morda. But capable of saying very caustic, incisve,
and biting-things which get under the skin of people and force them to view
things in a new light.”[79]
Agitasi mereaksi dua kondisi, pertama orang yang agresif, membangkitkan
dan menggairahkan orang lain. Perilakunya dinamis energik, menarik perhatian
orang lain. Perilaku yang menggairahkan akan mendorong orang lain untuk
bertindak baik dengan bahasa tubuh maupun dengan bahasa yang lain, bagimana
orang yang banyak masalah sangat bagus dalam mendorong orang agar dapat lebih
energik dan bergairah tanpa terbebani. Dalam hal ini mempengaruhi orang bukan
dengan tindakan tetapi dengan kata-kata, karena seseorang yang pandai mengolah
kata-kata dan menyampaikanya secara logis tersirat tetapi bisa membuat orang
lain menerima yang disampaikanya. Sebuah gerakan sosial membutuhkan sosok
pemimpin yang dapat menanamkan keyakinan untuk mencapai tujuan. Sosok seorang
pemimpin yang dibutuhkan adalah yang mempunyai kepribadian yang utuh, sehingga
bisa mempengaruhi kepercayaan masyarakat.
Mengutip pendapat Talcott
Persons, Ritzer mengatakan bahwa unsur-unsur masyarakat yang mengalami
perubahan biasanya mengenai nilai-nilai sosial-budaya, norma-norma sosial,
organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial,
kekuasaan tanggung jawab, kepemimpinan dan sebagainya, namun fokus dalam
penelitian ini adalah nilai-nilai sosial budaya dalam hubunganya dengan pola
pengasuhan di masa sekarang sebagai
dampak langsung dari perubahan yang terjadi di masyarakat. Nilai-nilai budaya
yang terjadi adalah nilai-nilai yang ditranformasikan orang tua kepada anaknya
melalui pengasuhan, nilai tersebut ada nilai budaya yang tradisional dan juga nilai budaya yang modern, sedangkan yang
dimaksud nilai budaya yang modern dalam kontek penelitian ini adalah nilai-nilai
yang dianut orang samin sejalan dengan perubahan sosial dalam hubunganya dengan
proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan dimaksud adalah
perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku orang samin dalam hubunganya dengan
pengasuhan anak.[80]
Aplikasi landasan teoretis tersebut diatas, terlihat pada tujuan
pengasuhan anak melalui nilai-nilai Islam dan budaya yang diterapkan oleh orang
tua. Pola pengasuhanya sesuai dengan apa yang
dikemukana oleh Alizabeth, tujuan pendidikanya sesuai dengan tujuan pendidikan
yang di tawarkan oleh al Junaidi, Banu
Garawiyan, dan Imam al-Ghazali. Nilai-nilai
agama dan budaya relevan dengan pandangan M sattu Allang, sedangkan yang terkait dengan strategi pengasuhan anak relevan dengan pandangan Abdullah Nashih
Ulwan dan al-Mawardi yang mengedepankan pentingnya menerapkan masahabah
(keakraban antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai anak didik) dan ta’dib (penanaman akhlak). Proses
dan cara transformasi yang efektif untuk pembinaan sikap dan perilaku dalam
anggota keluarga lewat keteladanan, pembiasaan dan pemberian nasehat,pemberian
perhatian, pemberian hukuman.[81]
Menurut Al-Mawardi, nilai-nilai adab/akhlak (karakter)
itu setidak-tidaknya merujuk pada dua hal, pertama adalah norma-norma
atau nilai-nilai yang disepakati oleh para ulama atau ahli di bidang moral dan
akhlak. Nilai-nilai ini bersumber pada ajaran Islam (al-Qur’an, al-Hadits, dan
kesepakatan ulama), seperti melaksanakan kewajiban atau perintah agama dan menghindari
perbuatan yang diharamkan, berlaku jujur dan berbuat adil, dan kedua,
norma-norma atau nilai-nilai yang disepakati oleh suatu masyarakat yang menjadi
pedoman dalam kehidupan mereka, seperti masyarakat menyepakati cara berpakaian,
cara berinteraksi dengan orang lain dan cara bersikap dalam situasi tertentu.
Sehingga apabila tingkah laku seseorang itu tidak sesuai dengan pola-pola hidup
yang disepakati masyarakat itu, maka ia dianggap melanggar atau menyimpang dari
norma-norma masyarakat dan berhak memperoleh celaan sebagai orang yang
menyalahi adat dan tidak berakhlak.[82] Hal ini sejalan dengan
pendapat J. Raven bahwa ”social values are set of society attitude
considered as a truth and is bicome the standard for people to act in order to
achieve democratic and harmonious life” (nilai-nilai sosial merupakan
seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan
standar bertingkah laku guna memperoleh kehidupan masyarakat yang demokratis
dan harmonis).[83]
Dari pemikiran al-Mawardi itu dapat dipahami bahwa
nilai-nilai dasar yang melandasi pola pengasuhan anak dikelompokkan menjadi
dua, yaitu nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai insani. Nilai Ilahi adalah
nilai-nilai yang diwahyukan oleh Allah Swt. melalui para Rasul-Nya tentang keimanan,
ketaqwaan dan keadilan. Nilai-nilai ini diformulasikan menjadi beberapa bidang,
yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. sedangkan nilai insani adalah nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang atas kesepakatan masyarakat yang selama ini
dilestarikan, dikembangkan dan disosialisasikan melalui berbagai aspek
kehidupan, misalnya nilai kejujuran, keadilan, kebersamaan, solidaritas,
kemandirian, ketaatan dan sebagainya. Nilai-nilai insani ini kemudian melembaga
menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan mengikat bagi
anggota masyarakat.
a.
Implementasi Pola Pengasuhan Anak
Cinta orang tua kepada anak-anaknya adalah cinta yang bersifat instingtif
dan alami, serta merupakan salah satu fenomena naluri seksual (ghanzah nau’),
sebab keduanya antara ayah dan ibu selalu terlihat pada anak-anak tersebut,
adanya kelangsungan hidup, ketaatan kepada kedua orangtuanya, kesejukan mata
ketika dipandang, dan ketenangan jiwa bagi kedua orangtuanya. Oleh karena itu di
sini telah terjadi hubungan yang kuat dengan anak-anaknya, kebiasaan orang tua dan pengorbanan dengan segala sesuatu yang mahal dan berharga sebenarnya hanya untuk
mereka.[84] Di masyarakat sekitar kita misalnya banyak di
antara ibu rumah tangga yang bekerja di
luar rumah bahkan di luar negeri dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya. Namun hal ini, banyak dari para ahli pendidikan yang mengawatirkan
adanya dampak negative terhadap psikis anak, karena anak merupakan masalah yang unik, dilematis, serta
berdampak adanya kebingungan pada individu dan keluarga secara keseluruhan.[85] Islam tidak melarang wanita bekerja, namun
harus dimusyawarahkan dengan suami dan tetap menjaga harkat dan martabat
sebagai ibu. Hal ini sangat penting untuk menjaga kestabilan keluarga. Demikian pula untuk melihat pengaruh dari perubahan sosial yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat terhadap pengasuhan anak dengan melihat aspek
perubahan sosial.
Terkait dengan perubahan sosial dalam keluarga yang
dimaksud dengan perubahan adalah bergesernya
nilai-nilai agama dan budaya sebagai akibat dari pengaruh langsung maupun tidak
langsung dari modernisasi dalam masyarakat.
c. Proses Terbentuknya Masyarakat
Menurut Linton sebagaimana dikutip oleh Drs Sidi Gazalba dalam bukunya
yang berjudul Masyarakat Islam, beliau mengatakan bahwa masyarakat adalah sekelompok
manusia yang menetap dalam waktu yang cukup lama, mereka hidup dan bekerja sama,
sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir mengenai
dirinya sebagai kesatuan sosial, yang mempunyai batas-batas tertentu.
Masyarakat berawal dari sebuah keluarga yang merupakan komunitas paling
kecil di dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Neufeldt,V & Guralnik D.B. sebagaimana dikutip Widiana mengatakan
bahwa keluarga adalah sebuah unit sosial yang
terdiri atas orang tua dan anak.[86]
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai peranan yang besar
dalam kehidupan individu. Menurut Rakhmat, sebagaimana dikutip oleh Siwi
Widiana, bahwa ada tujuh fungsi
keluarga, yaitu, pertama, Fungsi Ekonomis, kedua,fungsi
sosialisasi anak, ketiga,fungsi pendidikan, keempat, Fungsi
Protektif, kelima,Fungsi religious, keenam,Fungsi Afektif,
ketujuh Fungsi Psikomotor. Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang
mampu menjalankan fungsinya dengan baik.[87]
Nilai budaya menurut Muhammad Noor Syam bahwa nilai adalah norma tertentu yang di fahami
oleh manusia.[88]
Budaya adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota dalam suatu
masyarakat tertentu yang terdiri dari cara berfikir, cara bertindak, dan cara
merasa yang dimanifestasikan dalam
bentuk agama, hukum, seni, dan kebiasaan-kebiasaan, serta budaya materi
seperti, sandang, papan, dan peralatan.[89]
Pendapat diatas sepadan dengan apa yang di katakan oleh Koentjaraningrat di
bawah ini :
“ Nilai-nilai budaya yang hidup ditengah masyarakat,
dilihat dari sudut budaya akan senantiasa mengalami perubahan. Dalam proses
perubahanya, dari unsur-unsur kebudayaan yang masuk dalam kategori kebudayaan
Universal, unsur agama atau religi yang paling lambat mengalami perubahan, jika
tidak dikatakan statis. Kebudayaan yang sifatnya universal dan terinci dapat
dikenali dalam tiga wujud : (1) wujud kebudayaan suatu kompleks ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitet kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Nilai yang paling ideal disebut sebagai sistem nilai budaya”.[90]
Artinya budaya yang di maksud
dalam hal ini adalah nilai-nilai yang
hidup dan berkembang dalam sebuah komunitas tertentu. Nilai-nilai budaya adalah
cita-cita tertinggi yang berharga dan di perjuangkan oleh komunitas tersebut.[91]
Walaupun dalam konteks ini nilai-nilai budaya sebagai basis pendidikan
mengalami perbedaan pendapat di antara para ahli dari aliran konservatif ataupun aliran progresif.
Namun kaum konservatif tetap mengatakan
bahwa nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang absolut yaitu nilai-nilai yang
harus diajarkan kepada peserta didik, agar ia menjadi salah satu anggota
masyarakat yang baik. Pendapat konservatif ini didukung oleh Hutchin
sebagaimana dikutip oleh Imran sebagai berikut :
“Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengetahui apa
yang baik untuk manusia. Untuk mengetahui yang baik-baik sesuai dengan
urutanya. Ada suatu herarki nilai-nilai. Tugas pendidikan adalah menolong kita
untuk mengerti, membentuknya, dan hidup yang baik-baik.”[92]
Berbeda dengan pendapat kelompok
aliran progresif yang mengatakan bahwa masyarakat sebagai pembentuk budaya
sehingga masyarakat itu mengalami
perubahan, maka nilai-nilai budaya pun dalam hal ini juga akan mengalami
perubahan. Disini jelas sekali bahwa
tidak ada nilai-nilai tertentu yang harus diberikan kepada peserta didik,
kecuali nilai-nilai perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan pada
hakekatnya adalah mengajarkan nilai-nilai budaya yang beragam itu kedalam
perkembangan kebudayaan masyarakat gelobal.
Menurut Linton, sebagaimana
dikutip oleh Imran Manan, dikatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai,
pola-pola, gagasan-gagasan yang dominan
( Center Core) atau “inti budaya yang kuat” yang diakui secara
umum dalam masyarakat tersebut.[93]
Masyarakat sebagai komunitas budaya sudah barang tentu memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang
mengikat dalam suatu kebudayaan yang membentuk sebuah idiologi, identitas
kolektif yang dipertahankan. Menurut Pierre Bourdieu, sebagaimana yang dikutip
oleh Sudardja, bahwa masyarakat
mempunyai logikanya sendiri di dalam kebudayaan, sehingga akan berbeda antara
masyarakat satu dengan lainya.[94]
Pendapat tersebut sering disebut dengan istilah “Pertimbangan budaya” atau
cultural arbitraries, dimana setiap pertimbangan budaya akan diwariskan
melalui sosialisasi. Dalam proses sosialisasi ke masyarakat disini mempunyai
sebuah pola induk, sehingga arah dan isi dari sosialisasi akan terwadai dalam
pola induk ini.
2. Kajian Metodologi
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis Penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kualitatif, yang
erat kaitanya dengan penelitian agama dan budaya, yaitu penelitian dengan
menggunakan emik dalam arti bahwa peneliti mengumpulkan data yang berupa
cerita-cerita dari para informan yang diungkapkan apa adanya sesuai dengan
bahasa dan pandangan para informan.[95]dari
ungkapan konsep ini, dapat penulis ketahui dengan jelas bahwa apa yang
dikehendaki adalah suatu informasi yang bersifat deskripsi seperti yang telah
disebutkan sebelumnya.
Sedangkan pendekatan yang penulis
gunakan adalah pendekatan ethnometodologi, karena pendekatan ethnometodologi
ini digunkan dalam upaya memahami arti dari simbul rata-rata yang
dilepaskan ibu dalam pengasuhan anak menurut makna asal etnik Samin. Di samping itu penggunaan pendekatan ethnometodologi di sini penulis gunakan sebagai dasar untuk
menjaring perilaku yang bersifat normative (dengan konsekuensi perilaku
tersebut adalah pola pengasuhan, dan dengan demikian “harus diturunkan atau
ditansformasikan antar generasi” yang berarti tersisih dari yang terbaik atau yang berarti hasil dari budidaya atau produk
budaya.
Untuk
mengumpulkan data-data dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan pendekatan
fenomenologi konstruktif [96],
yaitu mencari makna yang esensial terhadap pola pengasuhan anak. Fenomenologi
berupaya memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya dalam situasi tertentu.[97]
fenomena dipandang tidak sekedar pengalaman, tetapi juga pengalaman yang
mengimplisitkan penafsiran.[98]
Fenomena pola pengasuhan anak meliputi: aktivitas keseharian dan sebagainya.
Fenomena tersebut dipahami dan dideskripsikan sebagaimana adanya guna
mendapatkan pandangan, penjelasan, dan gambaran pola pengasuhan anak sebagai obyek
penelitian.
Penelitian kualitatif memiliki beberapa
karakteristik, pertama berlangsung dalam latar ilmiah, kedua, peneliti
dalam hal ini sekaligus sebagai instrument atau sebagai alat pengumpul data
yang utama, ketiga, analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
secara induktif.[99] Yin
mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif fokus penelitian berusaha menjawab pertanyaan tentang
“bagaimana”.[100] Secara
filosofis, sesuai dengan karakter data di lapangan, teknik pengumpulkan data
dan analisisnya di dalam penelitian ini
mengacu pada post-positivisme-phenomenology.[101]
Pilihan penelitian kualitatif ini di dasarkan atas sifat kajian ini
perspektif teoritik, sasaran maupun
datanya diyakini lebih relevan dengan penelitian kualitatif. Penelitian
mengenai nilai, khususnya nilai ilahiah dan insaniah dapat dikategorikan kepada
penelitian agama model kedua, seperti yang dikemukakan oleh Mattulada, ia
mengkategorikan penelitian agama kepada penelitian tentang agama dan hidup
keagamaan. Pertama, merujuk kepada fenomena dalam masyarakat, yakni titik
tekanya pada aspek sosio-kulturalnya, kedua, berusaha memahami tingkah laku
manusia dalam masyarakat yang dimotivasi oleh keyakinan keagamaan.[102]
Yaitu melalui penangkapan fakta-fakta untuk mengungkap latar belakang yang
terdalam dari individu yakni sejauh mana nilai tersebut menjadi milik pribadinya.
Nilai sebagai suatu yang terdalam atau suatu sistem kepercayaan terefleksi pada
perilaku seseorang dalam arti yang luas. Demikian juga sebaliknya seseorang
yang dalam dirinya bersemi nilai-nilai keagamaan akan terefleksi pula dalam
kehidupanya.
Adapun pertimbangan yang lain adalah bahwa jawaban atas pertanyaan
penelitian ini memerlukan keterangan kualitatif karena sangat terkait dengan pandangan dan perilaku
informan yang tidak bisa di jelaskan dengan metode kuantitatif. Meskipun
keterangan atau data kuantitatif tetap digunakan untuk membantu dan mendukung
serta menjelaskan berbagai fenomena yang bersifat kualitatif. Dalam hal ini Wilson juga mengatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang data-datanya merupakan data
kualitatif yaitu deskriptif material, catatan dan verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh seseorang di dalam
wawancara, data visual berupa gambar atau foto. Kata-kata tersebut meliputi
data yang tertulis atau terucap oleh orang-orang dan termasuk perilaku yang
diamati, yang mengarah pada latar dan setting individu secara holistik.[103]
Validitas dan reabilitas data yang diperoleh dalam penelitian ini akan
diperoleh dari masyarakat Samin terutama yang terkait erat dalam
pola pengasuhan Anak.
Dalam penelitian ini penulis berusaha memahami makna dari peristiwa yang terjadi serta interaksi orang
dalam situasi tertentu. Adapun untuk memahami makna di peristiwa serta interaksi orang tersebut akan digunakan
orientasi teoritik atau perspektif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi (phenomenological
approach). Fenomena dalam hal ini menurut Soetandya Wignjo Subroto fenomena
adalah gejala dalam situasi alaminya yang kompleks, yang mana dalam hal ini
hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia sekomprehensip apapun
jika telah di reduksi kedalam parameter yang terdefinisikan sebagai fakta.[104]
Menurut Nasution, penelitian kualitatif
pada hakekatnya adalah mengamati
orang dalam lingkungan hidupnya
berorientasi pada mereka, dan berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka
utamanya tentang dunia sekitar.[105]
Dengan pendekatan ini diharapkan permasalahan (fakta) akan lebih mudah
dipecahkan.
Karena
itu, penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif (qualitative
research),[106]
yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan
maupun tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati dari subjek penelitian, yang
dalam hal ini meliputi konsep, pemikiran, persepsi, keyakinan, nilai dan
perilaku yang menjadi pola pengasuhan anak masyarakat Samin sebagai subjek
penelitian. Penelitian
kualitatif bertujuan menggali atau membangun proposisi,[107]
atau menjelaskan makna dibalik realita. Peneliti berpijak dari realita atau
peristiwa yang terjadi di lapangan, kemudian berusaha memandang apa yang sedang
terjadi di lapangan tersebut dan melekatkan temuan-temuan yang diperoleh di
dalamnya.[108]
Karena itu, penelitian
kualitatif bersifat generating theory
bukan hypothesis testing, sehingga yang dihasilkan adalah teori
substantif.[109]
Menurut
Bogdan dan Biklen, terdapat lima ciri pokok pada penelitian kualitatif, yaitu: pertama,
memiliki latar belakang alami dan peneliti sendiri berperan sebagai instrument
kunci; kedua, bersifat deskriptif; ketiga, menekankan proses dari
pada produk; keempat, cenderung menganalisa data secara induktif; dan kelima,
makna sangat penting artinya.[110]
Studi semacam ini menurut Sukmadinata tidak bertujuan untuk membuat
generalisasi, tetapi untuk memperluas temuan yang memungkinkan pembaca atau
peneliti lain dapat memahami situasi yang sama dan menggunakan hasil penelitian
ini dalam praktik.[111]
Untuk jenis data berikutnya
sesuai dengan bentuk dan sifat datanya, maka dalam hal ini teknik yang
digunakan adalah dengan menggunakan metode :
1).
Observasi
Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data melalui observasi
memiliki peran yang sangat penting, karena sangat memungkinkan peneliti akan
mendapatkan informasi yang lengkap sesuai dengan setting yang dikehendaki.
Adler mengatakan bahwa metode observasi adalah peneliti bukan hanya memperoleh visual
perception saja, melainkan peneliti juga akan memperoleh data dari
pendengaran , perasaan dan penciuman secara terpadu. Pengamatan dalam metode
ini sangat berperan sekali baik di dalam interaksi sosial dan
lain-lain.[112]
Teknik ini lazim digunakan oleh para antropolog, karena dalam metode ini
peneliti secara otomatis aktif
berinteraksi sosial di dalam memburu suatu data.
Feliek
mengatakan metode observasi merupakan salah satu metode penting dalam
penelitian kualitatif karena
disamping peneliti terlibat langsung dan
aktif, peneliti dapat bekerja secara intensif. Adapun derajat keterlibatan
dalam penelitian ini adalah dalam partisipan lengkap (complete participant),
dengan cara ini menurut Patton, hal-hal yang bersifat rahasiapun dapat
diperoleh, karena dalam hal ini peneliti secara legal administrative akan masuk
langsung menjadi bagian dari masyarakat sebagai partisipan. Sesuai dengan data
yang dihimpun Spradley membagi jenis pengamatan menjadi empat macam, pertama,
pengamatan dengan partisipasi nihil, kedua, pengamatan dengan
partisipasi pasif, ketiga, pengamatan dengan partisipasi sedang, dan
yang keempat, pengamatan dengan partisipasi aktif.[113]
Dalam hal ini secara kultur metode ini
peneliti memiliki posisi yang tidak asing lagi dengan obyek penelitian,
sehingga memiliki kemudahan untuk mengakses dengan sumber data. Posisi yang
strategis dalam pengamatan seperti ini juga dikatakan oleh Moleong yang mengatakan bahwa peran peneliti dalam hal ini harus
berada dari suatu tempat ke tempat yang lain secara aktif, pada saat tertentu
disuatu tempat peneliti harus aktif, dan di tempat yang berbeda peneliti
bersikap pasif atau diam.[114]
Dalam metode ini peneliti menggunakan observasi partisipan (participant
observer), yaitu bertindak sebagai pengamat dengan cara membiarkan
kehadiranya sebagai peneliti dan mencoba membentuk serangkaian kegiatan dengan
hubungan ini maka sangat dekat dengan informan.[115] Dalam hal ini peneliti harus peka terhadap
lingkungan yang diteliti dan harus mampu mengatasi berbagai hambatan dan
tantangan yang ada, disamping itu harus beradaptasi dan berkomunikasi aktif
dengan komunitas yang diteliti serta mempunyai imajinasi yang kuat untuk
merumuskan hasil penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan partisipasi aktif
dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang berlaku di lokasi
penelitian.
2).
Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan data yang dapat diperoleh
secara langsung oleh peneliti, sebagaimana pertimbangan yang dikatakan oleh
Lincoln dan Guba adalah sebagai berikut : untuk mengkonstruksi mengenai orang,
kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan dan kepedulian,[116]
maka teknik wawancara menjadi penting. Adapun teknik wawancara yang di gunakan
dalam metode ini ada dua macam yaitu pertama, wawancara terstruktur dan yang kedua,
wawancara tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur, dalam hal ini peneliti memetakan sendiri masalah-masalah tersebut
kemudian membuat pertanyaan-pertanyaan
yang akan di ajukan kepada informan, dalam hal ini di lakukan dengan tujuan
agar data yang diperoleh benar-benar sesuai dengan fokus penelitian.
Sedangkan
teknik wawancara tak struktur dalam hal ini peneliti tidak menetapkan sendiri
masalah yang berupa pertanyaan-pertanyaan, sehingga dapat ditemukan informasi
yang tidak baku atau informasi tunggal. Sehingga hasil dari jenis wawancara ini
kusus menekankan pengecualian, penyimpangan penafsiran, yang tidak lazim, baik
penafsiran kembali dari pendekatan baru dan pandangan dari para ahli.[117]
Metode
wawancara tidak terstruktur sering disebut dengan wawancara mendalam atau
wawancara intensif dan juga sering disebut wawancara terbuka (open ended interview).
Nilai lebih yang ada dalam wawancara tidak terstruktur ini adalah wawancara
yang dapat di lakukan kepada hal-hal yang lebih pribadi (personal approach)
dengan lebih luwes, sehingga informan
memberikan data lebih terbuka dengan informasi yang obyektif. Dari
wawancara tidak terstruktur ini peneliti dapat mencatat berbagai respon yang
tampak selama wawancara berlangsung, kemudian hasilnya di pilah-pilah agar
pengaruh pribadi peneliti tidak mempengaruhi hasil penelitian, baik segi
budaya, bahasa dan pola hidup informan. Dari sisi psikologis wawancara ini
lebih santai, bebas karena berupa obrolan biasa (non formal), sehingga baik peneliti maupun informan tidak lelah
dibuatnya, karena pertanyaan-pertanyaan di tanyakan secara bebas (free
interview) hal ini khususnya yang
menyangkut hal-hal yang ringan seperti sejarah asal muasal gerakan samin,
munculnya nama kelompok samin, dan lain lain, kemudian pertanyaan meningkat
secara spesifik lagi dari fokus masuk ke sub fokus terutama yang berkaitan dengan rumusan masalah yang
akan diajukan.
Sifat dari
wawancara tidak terstruktur ini sangat luwes, pertanyaan-pertranyaan
menyesuaikan dengan bahasa informan untuk kebutuhan data yang ada. Adapun
tujuan dari wawancara tidak terstruktur ini semata-mata untuk menggali
data-data dari tokoh tua masyarakat Samin yang akhirnya dapat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam hal ini informan
tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan menilai hasil dari
percakapan itu melainkan suatu percakapan yang mendalam sehingga peneliti dapat
memahami pengalaman dan makna dari pengalaman infoman tersebut.
Untuk memahami makna dibalik tindakan, salah satu
metode yang peneliti gunakan adalah wawancara
mendalam.[118]
Oleh karena itu peneliti juga
terlibat di dalam berbagai wawancara,
baik ditempat kejadian, dirumah atau ditempat lainya. Sehingga peneliti akan melakukan dengan cara
mendatangi para tokoh tua dari suatu masyarakat tersebut setelah beberapa lama
peneliti menetap bersama mereka beberapa waktu yang peneliti anggap cukup untuk
penelitian.
Wawancara tidak terstruktur adalah
dimana pertanyaan-pertanyaan tidak memiliki struktur tertentu namun tetap
selalu terpusat dari satu pokok dari masalah satu dengan masalah yang lain.
Wawancara tahab kedua ini tidak menggunakan instrument terstruktur. Tetapi
cukup membuat garis-garis besarnya saja yang disusun sesuai dengan fokus dan
sub fokus dari rumusan masalah
yang ada.
Kedua yang digunakan ini dilakukan secara terbuka (open interview)
sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang open ended, dan ditujukan kepada informan-informan tertentu
yang dianggap sebagai informan kunci (key informant) dan juga untuk
informan biasa sebagai pelengkap.
Sebagai
standart minimal yang peneliti pilih adalah informan yang memeiliki pengetahuan
khusus tentang asal mula kelompok masyarakat tersebut yang dekat dengan
silsilah generasi langsung (nasab) sebagai sumber data yang pertama, kemudian
peneliti minta masukan dan saran tentang tokoh Samin yang lain
sebagai informan yang di tunjuk oleh sesepuh masyarakat Samin untuk mendapatkan tambahan informasi sebagai
kelengkapan data yang obyektif, sehingga informasi yang dikumpulkan semakin
lengkap.
Ketika
peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur, peneliti berusaha dengan
hati-hati, persuasive, sopan dengan santai sehingga bahan-bahan yang diangkat dari isu-isu yang
dieksplorasi sebelumnya dapat di satukan, dalam
hal ini peneliti lakukan agar tidak terjadi kemungkinan terjadinya bias
antara jawaban yang berbeda antara tokoh satu dengan tokoh lainya dengan cara
mempertentangkan antara jawaban satu sama lainya, kemudian pada akhir wawancara peneliti selalu berupaya mengembangkan dengan acara
mengarahkan dari topik satu kepada topik berikutnya sehingga fokus penelitian
ini dapat tercapai.
3).
Dokumentasi
Dalam metode dokumentasi ini
peneliti lakukan sebagai data pendukung dengan usaha mencari data melalui
beberapa arsip dan dokumen.[119]
Adapun dokumen dan arsip yang peneliti butuhkan dalam penelitian ini antara
lain adalah berupa arsip data kependudukan, buku-buku atau tulisan-tulisan
tentang Samin, termasuk tulisan-tulisan
yang terkait dengan masyarakat serta buku-buku lain yang peneliti perlukan
untuk melengkapi penelitian ini. Untuk menjamin akurasi data yang diperoleh
dari penelitian ini maka kesesuaian antara data satu dengan data yang lainya
dalam penelitian ini, maka dilakukan telaah, antara lain dengan cara, pertama,
keaslian dokumen, kedua, kebenaran isi dokumen, ketiga, relevansi
isi dokumen dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Adapun data yang
diperoleh melalui teknik ini adalah (1) sejarah yang berkaitan dengan asal usul
nama Samin, (2) perkembangan warga Samin
dulu dan sekarang, (3) data kuantitatif lainya yang relevan dengan masalah
penelitian sebagai kelengkapan dokumen.
3. Teknik analisa data
Analisis data dilakukan
secara kualitatif yaitu dengan cara melakukan deskripsi secara naratif dan
interpretative terhadap fenomena pengasuhan yang telah ditemukan pada etnis
yang diteliti. Dalam penelitian ini data yang diperoleh
kemudian dianalisis secara langsung, dan terus menerus, serta bolak balik,
sejak dari pengumpulan data, reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan
dan diverifikasi selanjutnya kemudian dilihat apa perlu ke lapangan lagi atau
tidak, dalam hal ini ke masyarakat samin untuk menambah data .[120]
Dalam menganalisis data penelitian ini, peneliti menggunakan model analisis
kualitatif dari Miles dan Huberman, yaitu analisis data dilakukan secara
interaktif yang berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga
datanya bisa dikatakan sudah penuh. Kegiatan analisis data ini meliputi tiga
tahap, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan dan verifikasi.
C. PENUTUP
Dari
paparan latar belakang, sebagaimana dijelaskan diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memahami
pola pengasuhan anak dalam masyarakat Samin yang Selanjutnya, dari pemahaman ini dapat dikembangkan lagi
dalam pola-pola pengasuhan anak lainya pada masyarakat di sekitar Blora
khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Pola asuh cenderung
memberikan kebebasan pada anak untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri
memang baik bagi perkembangan pribadi anak.
Hasil penelitian ini diharapkan
memiliki manfaat yang secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan keilmuan
bidang pendidikan yang terkait dengan kemasyarakatan,
yakni: memberikan pemikiran baru tentang paradigma, konsep, strategi dan cara pengasuhan anak sehingga menjadi rujukan bagi para orang tua.
Secara praktis hasil penelitian ini
diharapkan dapat berguna bagi
para praktisi pendidikan, utamanya bagi para pendidik dalam interaksi
sosial dalam bermasyarakat yang
berorientasi pada pola
pengasuhan anak. Hasil penelitian ini sangat
penting artinya bagi keluarga
dalam hal ini
adalah ayah dan ibu selaku lingkungan terdekat bagi anak,
yang sejak
tahun 1889 telah
lahir kelompok Samin Surosentiko di Randublatung Blora Jawa Tengah pada keluarga atau lembaga pendidikan non formal, dan menjadikan
pola pengasuhan sebagai salah satu upaya membentuk generasi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani,sosiologi skematika, teori dan terapan, (Jakartra: PT
Bumi Aksara,2002
Abdurrahman, Syekh Khalid, Al-‘Akk,Cara Islam Mendidik Anak,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006
Adiwikarta, Sudardja, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1998
Al- Mawardi, Abu Hasan, Adab
al-Dunya wa al-Din (bairut: Dar al- Fikr, 1995
Alang H.M, M. Sattu, Anak Saleh : Kontribusi nilai-nilai
Sosio-Kultural Masyarakat Luwu Bagi Penshalehan Anak di Pesantren Modern Datok,
Sulaiman Palopo,Cet I, (Makasar: Yayasan al-Ahkam, 2001
Al-Tuwainisi, Abdul Futuh,Ali al-Junaidi, Perbandingan Pendidikan
Islam, Cet II (Jakarta: PT Rineka Cipta,2002
Arikunto, Suharsimi, Prosedur penelitian:Suatu Pendekatan,
(Jakarta:Rineka Cipta, 1993
Assegaf, Abd. Rachman. Internasionalisasi
Pendidikan, ( Yogyakarta: Gama media, 2003.
Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, (Jakarta: Logos, 2002
Borgatta, F. Edgar (Ed), Encyclopedia of sociology (New
York : Maemillan Publishing Company,tt), 1807. Lihat juga Jan Robertson, Sosiology,
(New York: Worth Publishars, 1983
Clung Lee, Alfred
Mc, Principles of Sociology (Nerw
York:Barnes And Noble Inc,1873
Denzen K, Norman, The Research
Art: A Theoretical Introduction to Sociological Methods (Enflewood Cliffs N
J:Prentice Hall, 1988
Departemen Sosial RI,Undang-Undang Republik
Indonesia No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
Doman, Glen, Mengajar
Bayi Anda Membaca, (terjemahan Ismail M),(Jakarta:Gaya favorit Prss,1991
Fahmi, Mustafa, Kesehatan
Jiwa dalam Keluarga,Sekolah dan Masyarakat,Terjemahan Dr.Zakiah Daradjat,(Jakarta:Bulan Bintang, 1977
Fatihah
Hasan Sulaiman, Mazahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi Mazhab al-Tarbiyah
Fatwa Tentama,Peran
Orang Tua Mendidik Anak ADHD, (Republika,3 Mei 2012
Fuadudin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Jender,1999
Guba, E.G, Lincoln, Naturalistic Inquiry, (California : Sage
Publications Inc, 1985
Hadi, Amirul Hadi, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung:
Pustaka Setia, 1998
Hamidi,metode
penelitian kualitatif, (Malang: UMM Press,2004
Hamim, Nur, Kesehatan mental islami, telaah atas Pemikiran Hamka,
(Yogyakara: IAIN Sunan kalijaga, 1977
Harahab, Nasaruddin, Dakwah dalam Pengembangan Masyarakat ,(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011
Hidayah, Rifa, Psikologi Pengasuhan Anak,
Yogyakarta : Sukses Offset,2009
Hudijono, Anwar, Darah Guru Darah Muhammadiyah :
Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2006 Ruslan,Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial,Disertasi (ed) UIN Sunan kalijaga,2011
Hurlock,B,. Elizabeth, Child Development (6Th
ed),(Singapore:McGraw-Hill Book Company,1978
Imam al-Gazali, Ayyuha al- Walad (
Beirut : dar al-
Fikr al-‘Araby,t,th
Imam Musbikin, Mendidik Anak Ala Shinchan, (Yogyakarta:Mitra
Pustaka,2004
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul
(Malang : UIN
Press, 2009
J. Raven, Education, Values, and Society: The
Objectives of Education and the Nature and Development of Competence
(London: HK Lewis & Co. Ltd., 1977
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta:
PT Gramedia, 1974
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam,(Jakarta:
Pustaka al-Husna1985
Ludjito, Ahmad L,
“Pendidikan Agama Sebagai Subsistem dan Implementasinya dalam Pendidikan
Nasional” dalam M. Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti (Ed), PBM PAI Di Sekolah,
(Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang & Pustaka Pelajar, 1998
Malik Fadjar,A. Pengembangan Pendidikan Islam yang
Menjajikan Masa Depan,”dalam Imam Suprayogo (Pengantar), Quo Vadis
Pendidikan islam : Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan
(Malang, UIN Press,2006
Malik Fadjar,A. Reorientasi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Fajar Pustaka, 1998
Mansur ,Mendidik anak sejak dalam Kandungan,Yogyakarta : Mitra
Pustaka,2004
Moleong.j, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:Remaja
Rosda Karya, 1989 Robert K.Yin, Case Study Research, Desighn And Methods, Terj.M.Jaudzi
Mudzakir, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996
Monks, Knoer, Psikologi
Perkembangan, Terjemahan Prof.Dr.Siti Rahayu Haditomo,(Yogyakarta:L
Gajah Mada University Press, 1982
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (ed.IV) (Yogyakarta:Andi
Offset,2002
Muhammad Tholhah Hasan,Islam
dan Masalah Sumber Daya manusia,(Jakarta:Lantabora Press,2003
Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan.
( Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002
Mutiah, Diana ,Psikologi Bermain Anak Usia
Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Nashih Ulwan, Abdullah, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam,
diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmad Masykur dalam,Pedoman Pendidikan Anak
dalam Islam, Cet I, (bandung: remaja Rosdakarya, 1990
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet.I
(Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm.42
Nor Syam, Muhammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, (Surabaya:PT Usaha Nasional, 1984 Imran manan,Antropologi
Pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan , 1989
Rahmat,J.Psikologi
Komunikasi, (Bandung: PT Rosda Karya,1998), dalam jurnal Humanitas
Ritzer, George, Modern Sociological Theory, dalam (terj) Teori sosiologi Modern, (Jakarta:
Kencana, 2004
Roland A. &
Harris, BCoreer Motherhood, (New York:Human Science Press, 1979
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran,Cet II,(bandung:
Alfabeta, 2005
Salih, Ahmad Zaki ,Ilmu
an-Nafsi at-Tarbawi, (kahirah, maktabah an-Nahdah al-misriyah, 1977
Simuh, Sufisme Jawa,
Yogyakarta : Yayasan Bentang
Budaya, 1996.
Siwi Widiana, Herlina, dalam Jurnal Humanitas,Peranan
Keberfungsian Keluarga dan Efikasi diri Terhadap Reaksi Stres, New York:
Macmillan,1996
Soekamto, Soejono,
Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000
Soemarjan, Selo, Perubahan
Sosial Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajah mada University Press, 1981
Sugiyono, Metode
Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif , dan R &
D (Bandung: Alfabeta, 2008
Sukoco, Dwi Heru ,Profesi
Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolonganya,(Jakarta: Badan Pelatyihan dan
Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI,2005
Sumardi, Mulyanto, Penelitian Agama Masalah
dan Pemikiran,Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, Jakarta:Sinar
Harapan,1982
Suryabrata, Sumadi ,
Hubungan antara Perkembangan Pribadi dan Keterlantaran, (Yogyakarta:UGM
Press,1982
Suwito & Fauzan (ed),Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005
Wiyono, Gunarso, Buletin Sangkakala, Kesabaran dan
Keteladanan Kunci Sukses Mendidik Anak, (Yogyakarta, Badan Perpustakaan Daerah
Propinsi DIY,2008
Wuradji, Sosiologi
Pendidikan, Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologi (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan
Lembaga PendidikTenaga Kependidikan, 1998
Yusuf, Maftuchah, Kewajiban
Bertanggung jawab Terhadap Ketentraman Anak, (Yogyakarta: UGM Press,1982
Zurayk,Ma’ruf, Mendidik Anak menuju Remaja, Aku dan Anakku, (Bandung
: Dar Al-Fikr,1998
[51] Fatihah Hasan Sulaiman,
Mazahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi Mazhab al-Tarbiyah ‘Inda al-Ghazali,
(Mesir: Maktabah Nahdiyah, 1964), hlm. 11. Kebahagiaan di dunia berlaku dalam
bentuk terhindar dari segala yang mengacau dan mencelakakan hidup seperti
penganiayaan, ketidakadilan, bencana, siksaan, huru-hara, kezaliman, pemerasaan
dan segala macam penyakit dan bahaya. Kebahagiaan jenis ini diberikan kepada
manusia yang beriman dan beramal saleh. Sedangkan kebagaiaan akhirat berlaku
dalam bentuk tehindar dari siksaan, baik di dalam kubur atau di akhirat sebelum
dan sesudah menjalani pengadilan dan seterusnya untuk masuk surga. Lihat: Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Al-Husna, 1987), hlm. 7.
Lihat juga: Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 73.
[62]A. Malik Fadjar,Pengembangan
Pendidikan Islam yang Menjajikan Masa Depan,”dalam Imam Suprayogo
(Pengantar), Quo Vadis Pendidikan islam : Pembacaan Realitas Pendidikan
Islam, Sosial dan Keagamaan (Malang, UIN Press,2006), hlm 11.Lihat juga
Suwito & Fauzan (ed),Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm12-13.
[70]
Imam Suprayogo, Bermodalkan
Jiwa, Semangat, dan Pikiran Besar Pak Malik Fadjar Berhasil membangun
Pendidikan,” dikutip dalam www.imamsuprayogo.com, ditulis untuk ulang tahun yang
ke-70 Prof.Dr.A.Malik Fadjar. Diakses pada tanggal 19 Mei 2912.
[82] al-Mawardi, Adab al-Dunya wa
al-Din, hlm. 226-227.
[83] J. Raven, Education, Values,
and Society: The Objectives of Education and the Nature and Development of
Competence (London: HK Lewis & Co. Ltd., 1977), hlm. 220.
[97]
Fenomenologi bermaksud memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya
dalam situasi tertentu, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 9.
[98]
Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hlm. 81.
[106] Penelitian kualitatif bermaksud
menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tulisan dan
tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti. Lihat pula Imam
Suprayogo dan Imam Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial dan Agama
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 13., Pendekatan kualitatif bertujuan menggali atau membangun proposisi,
yaitu dalil atau kalimat yang mungkin salah mungkin benar, Pius A Partarto,
Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, tt.).
[108] Tadjper Ridjal, dalam Burhan
Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001),
hlm. 26.
[109] Amirul Hadi dan Haryono, Metodologi
Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 14.
[121]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif , dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm.
247.